Selasa, 23 Februari 2010

Ngamen Iya, Sekolah OK!

Aktivitas anak-anak yang mengamen usai sekolah dan tetap sekolah menarik simpatik. Pengalaman mereka menjadi salah satu bahan pendidikan karakter yakni belajar membentuk karakter diri. Mereka yakin sekolah membuat mereka mandiri menentukan masa depan, mereka tidak melupakan sekolah formal.
Sekolah, mengutip pemikiran Doni Keusuma dalam Pendidikan Karakter, memberi mereka ruang untuk memahami proses merealisasikan diri sebagai manusia ideal yang baik secara moral, kuat, dan tangguh secara fisik, mampu berkreasi dan mengapresiasikan seni, sederhana, jujur, bijaksana, beriman pada Tuhan, dan sebagainya melalui pendidikan di sekolah.
Hakikat pendidikan adalah untuk membentuk karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek dengan perilaku dan sikap yang dimilikinya. Pendidikan karakter adalah usaha yang dilakukan secara individu dan social dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan kebebasan individu itu sendiri. Hanya dalam kebebasannya, individu “dapat menghayati kebebasannya sehingga ia dapat bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka”.
Namun, bagi ketiganya pendidikan formal di kelas belum cukup untuk membangun karakter diri. Terlepas dari demi alasan ekonomis, mengamen dalam kereta membawa angin harapan bagi mereka untuk menjadi lebih baik. Menjadi lebih baik dalam konteks ini adalah merasa memiliki hak seperti orang dewasa; tidak lagi berfikir bahwa mereka dapat diperintah seenaknya oleh orang dewasa, mampu bergaul, berkonsentrasi, memiliki rasa empati, dan mampu berkomunikasi.
Perndidikan karakter tidak dapat tercipta hanya dalam keberhasilan membaca seperti pemikiran teman-teman Diah dan keberhasilan menghitung perkalian dan pembagian seperti pemikiran pemikiran pemikiran guru matematika Fifi. Semestinya, guru-guru berusaha menarik pengalaman Fifi dan Diah selama mengamen, mengangkat sebagai bahan diskusi. Bila itu yang tercipta, pelajaran yang tadinya membuat mereka tidak nyaman, malah memberi daya membangun rasa percaya diri, memberi ruang agar
anak-anak tidak takut untuk meminta bantuan (penjelasan), melatih kesabaran, dan mampu bekerja sama.
Pengalaman hidup Diah, Fifi, dan Fauzia memberi kita beberapa nilai hidup. Mereka mengetahui hal yang dilakukan adalah baik. Mereka sadar bahwa pendidikan itu baik. Karena itu mereka meninggalkan sekolah demi harus mencari penghasilan tambahan untuk kehidupan keluarga.
Mereka juga mencintai pendidikan tersebut. Bukti kecintaan mereka adalah tetap sekolah meski masih ada tuntutan lain yang harus dipenuhi. Justru kesadaran seperti, mengutip Doni K. menghantar mereka untuk lebih memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai keutamaan-keutamaan moral.
Melakukan kebaikan adalah nilai-nilai universal yang senantiasa ada dalam benak ketiga anak tersebut. Saya berani mengatakan bahwa di sinilah tahap puncak pendidikan karakter yakni keseimbangan spiritual yang adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah dalam konteks makna dan nilai hidup yang lebih luas dan universal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar