Minggu, 31 Mei 2020

Watuwawer...

WATUWAWER

Watuwawer atau yang dulu dikenal dengan nama Atakore, hanyalah sebuah desa yang sangat terpencil seperti halnya desa-desa yang lain di Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Tidak tampak banyak yang diketahui dari Desa ini. Sejak lahirnya, tidak terlalu banyak hal yang berubah dari aspek pembangunan. Desa yang sangat terlupakan dari berbagai aspek pembangunan.

Pembangunan sumberdaya yang bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat Watuwawer, boleh dikatakan hanyalah sebuah harapan tanpa ujung. Harapan yang sampai dengan saat ini masih tetap menjadi harapan. Harapan tanpa ujung, menanti sentuhan pembangunan dari pemerintahan sekarang ini. Sejak terbentuknya Desa Watuwawer (1917-1970-an) sampai Pemerintahan Koordinator Schap Lembata dibawah nakhoda putra Watuwawer Theodorus Touran Lajar, juga tidak banyak perubahan yang dilakukan. Ketika Pemerintahan Koordinator Schap Lembata ditingkatkan menjadi Pembantu Bupati Lembata(1980-2013), desa Watuwawer justru semakin terlupakan. Jarak penantian itu semakin jauh dari Watuwawer ketika Otonomi Daerah Lembata terbentuk tahun 1999 sampai dengan saat ini.

Pada halnya, pemerintah sebagai pelaksana pembangunan nasional di era reformasi ini, seharusnya mampu menggeser dan menjadikan kondisi manusia Watuwawer menjadi lebih bernilai. Saul M. Kazt (1987) dalam Lejap (2009), justru menegaskan hal ini. Bahwa pembangunan nasional sebagai perubahan social yang besar dari satu keadaan nasional ke keadaan nasional yang lain yang dipandang lebih bernilai. Berbagai aspek pebangunan seperti social, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, air bersih, infratsruktur seperti menjadi binatang-binatang aneh yang tak tampak di Desa Watuwawer.

Bahwa masyarakat desa Watuwawer sekarang ini bisa memahami aspek-aspek pembangunan dimaksud, tetapi itu hanyalah sebuah akibat perubahan secara alamiah yang dialami oleh masyarakat disana. Tidak ada dorongan dari pemerintah secara strategis untuk mengangkat harkat dan martabat orang-orang di Desa Watuwawer, atau desa-desa sekitarnya, agar dapat mengaktualisasikan diri mereka dengan berbagai aspek pembangunan. Semua berjalan secara alamiah.

Desa Watuwawer dan penduduknya masih menjadi desa yang terbuang. Terbuang dari perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi modern, hal mana menjadikan mereka semakin jauh. Harus diakui bahwa satu-satunya hal yang sedikit positif dapat dirasakan oleh orang Watuwawer adalah perlakukan transportasi dari dan ke Watuwawer. Perlakukan ini juga tidak banyak membantu meningkatkan mobilisasi orang Watuwawer.

Kalaupun mereka mempunyai mimpi (dream) untuk bisa menikmati jalan aspal, memiliki Handphone, menikmati listrik, air bersih dan atau hal positif yang lainnya, menjadi wajar dan keharusan. Karena mereka juga adalah anak dari Ibu pertiwi bangsa Indonesia. Namun apa yang terjadi ?. Watuwawer tetap menjadi masyarakat sederhana, bukan masyarakat modern. Sportifitas dan semangat pembangunan masih menjadi harapan tak berujung. Kapankah tangisan mereka terjawab ?

1. Kondisi wilayah

Dari aspek ketertinggalannya itu, sebenarnya Watuwawer juga mmiliki asset yang tidak kalah pentingnya seperti kondisi wilayah, Ekonomi, Sumberdaya Manusia dan Sumberdaya Alam, Budaya, Pariwisata serta Komoditas yang selama ini sudah dimiliki oleh orang Watuwawer, dan bahkan masyarakat lembata umumnya. Namun semuanya itu hanya terpatri dalam impian, belum sepenuhnya dikelola untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.

Tidak ada dukungan insfrastruktur yang memadai agar pengelolaan sumberdaya ditorehkan untuk kemaslahatan Watuwawer. Pola pembangunan kita masih meraba-raba, mencari arah yang jelas. Sementara Watuwawer tetap menggeliat menanti sentuhan tangan-tangan emas untuk mewujudkan mimpinya itu.

Kondisi wilayah Watuwawer sebenarnya bisa dikembangkan untuk kepentingan Lembata, paling kurang untuk kemajuan Atadei sebagai Kecamatanan yang menaunginya. Inipun masih jauh dari harapan bagi mereka yang mendiami Watuwawer. Gas Alam/geothermal Karun sebagai aset Pariwisata tetap menjadi lahan yang tertidur lelap. Geothermal Karun hanyalah nama yang kini menjadi momok bagi mereka. Belum lagi berbagai komoditias yang sepertinya hanyalah menjadi komsumsi harian orang Watuwawer. Budaya yang tertidur lelap tanpa sentuhan dan polesan dari mereka yang memegang tampuk kekuasaan.

Kenyataan yang terjadi selama ini justru sebaliknya. Pemerintah sering kali melakukan manipulasi system sehingga orientasi pembangunan bukan lagi berpijak pada asas keadilan dan pemerataan. Orientasi pemerintah semata-mata lebih kepada elit yang berkuasa, oleh karena itu upaya yang harus ditempuh adalah memperkuat peran masyarakat sipil dan revitalisasi system pemerintahan agar lebih mengikutsertakan rakyat dalam proses pengambilan keputusan dan melaksanakan pembangunan.

2. Letak

Watuwawer adalah sebuah kampung yang tidak terkenal sama sekali. Lebih pantas disebut udik. Letaknya yang jauh, berjarak 40 km dari Ibukota Kabupaten Lembata Lewoleba., mengakibatkan kampung ini tidak dikenal oleh siapapun, kecuali mereka yang hidup di kampung. Memiliki wilayah yang cukup luas sampai berbatasan dengan Bobu, Desa Benalar dan Karangora di wilayah Timur, ke barat bertasan dengan Atawolo sedangkan ke utara berbatasan dengan Desa Baoraja, Benolo dan Waiwejak. Bagian selatan berbatasan dengan Desa Lerek, dan Desa Mirek Puke.

Jalur komunikasi yang strategis hanyalah jalan darat dengan kondisi yang sangat parah. Biaya perjalanan mencapai Rp. 30.000.-hingga Rp. 100.000.- dan ditempuh dengan menggunakan kendaran roda empat maupun roda dua, selama ± dua jam. Topografi kampung Watuwawer dikelilingi oleh bukit-bukit yang mengakibatkan desa ini terletak di lembah. Karena letaknya di kaki bukit, sehingga cuacanya sejuk. Letaknya ± 1000 m dari permukaan laut.

Desa ini sering mengalami kesulitan air bersih, walaupun masyarakat sudah berupaya dengan berbagai cara termasuk menggali sumur, namun tidak ditemukan air. Baru beberapa tahun terakhir pemerintah Kabupaten Lembata mengupayakan air besih melalui sumur bor, dan ternyata bisa membantu warga memperoleh air bersih hingga saat ini. Itupun masih terkendala.

Dari aspek monografi, terdapat Pemerintahan Desa, dua buah Sekolah Dasar yaitu SD Impres Watuwawer dan SDK Watuwawer, Terdapat pasar tradisional (barter) setiap hari selasa. Terdapat Gereja Katolik yaitu Gereja Katolik St. Nikolaus Konradus Watuwawer.

3. Membangun dari Desa

Kebanyakan orang selalu berpikir bahwa kemajuan sebuah Negara atau Propinsi atau Kabupaten/Kota dimulai dari Kota. Pikiran ini benar ketika kota mulai ditata untuk menunjukan wajah sebuah Negara atau ibukota Propinsi atau Kabupaten/Kota. Bangunan pencakar langit, rumah susun, swalayan, sarana transportasi yang modern, sarana komunikasi canggih, hotel berbintang, bahkan lapanngan pekerjaan disiapkan di kota. Hasilnya memang nyata bahwa kota menyajikan kehidupan yang gemerlap.

Namun satu hal yang harus diperhatikan adalah orang yang menikmati hasil pembangunan di kota jauh lebih sedikit dari mereka yang tidak menikmati. Akibatnya nampak kecendrungan orang untuk selalu berusaha mencari kehidupan di kota. Masyarakat desa berbondong-bondong menuju ke kota untuk mencari pekerjaan sekedar menyambung hidup, terlepas dari apapun resikonya.

Sementara masyarakat di desa nampaknya tidak menikmati apa-apa. Semua yang berada di kota tidak tersedia di desa. Jangankan bangunan bertingkat, warung bakso saja tidak ada. Masyarakat desa bahkan buta atas segala jenis pembangunan yang ada di kota. Masalah-masalah social menjadi makanan masyarakat desa sehari-hari. Kesehatan, pendidikan, sumberdaya manusia, lembaga keuangan, transportasi, air bersih, Harga komoditi yang rendah, sistem pemerintahan desa yang kerdil, telah melengkapi penderitaan kehidupan masyarakat desa.

3.1. Kesehatan

Kesehatan menjadi hak semua orang. Karena itu semua orang wajib menikmatinya. Bukan hanya masyarakat kota tetapi juga menjadi hak dari masyarakat desa. Namun kendalanya selama ini ketersediaan sarana pelayanan kesehatan ke desa-desa menjadi masalah. Obatan-obatan, rumah sakit yang memadai, Puskesmas yang lengkap, ketersediaan dokter (ahli dan umum) bagi masyarakat desa menjadi hal yang rumit. Semuanya hanya bisa tersedia di kota. Tenaga kesehatan dan obta-obatan justru menumpuk di kota, tapi orang-orang di kota juga masih mengeluh kekurangan tenaga dan obat-obatan. Sementara di desa kalaupun tersedia hanya bidan desa, atau perawat yang datangnya senin kamis untuk melayani kesehatan masyarakat. Belum lagi ketersediaan obat yang minim. Topografi wilayah menjadi alasan klasik.

Walaupun program pemerintah katanya selalu berorintasi pada masyarakat kecil (grass root) tetapi pelaksanaanya menjadi hambar. Jamkesda dan Jamkesmas tidak banyak menjawab semua kebutuhan kesehatan masyarakat terutama di desa-desa. Kelihatannya, hanya indah diprogramnya tetapi implementasinya masih perlu dipertanyakan. Maka tidak heran kalau kesehatan menjadi masalah pokok desa yang harus segera diatasi untuk menghindari ketimpangan social ini. Gagasan tanpa perbuatan adalah omong kosong.

Kesehatan masyarakat desa ibarat pungguk merindukan bulan, bahkan semakin jauh dari harapan. Mereka hidup dalam lingkaran persoalan kesehatan yang tak ada ujungnya. Selalu ada saja lingkaran persoalan kesehatan yang tak putus-putusnya merundung masyarakat desa. Usia Harapan Hidup masyarakat di desa-desa menjadi kurang. Salah satu akibatnya adalah kesehatan yang kurang memadai.

Pertanyaannya, siapakah yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kesehatan masyarakat ? Pemerintah. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang dibangun pemerintah sampai ke desa-desa adalah program untuk menjawab tuntutan kesehatan masyarakat Desa. Tetapi harus tetap diakui bahwa Puskesmas belum efektif menjawab kebutuhan masyarakat desa dimana-mana. Banyak hal yang masih harus dibenahi terkait program pemerintah dalam hal peningkatan kesehatan masyarakat desa.

Kesehatan masyarakat masih menjadi hal yang menakutkan. Pengetahuan akan hidup sehat yang kurang menjadi persoalan tersendiri. Pengetahuan tentang hidup sehat jauh dari mata dan pandangan orang desa. Jika demikianlah soalnya, maka jangan heran kalau masyarakat desa tetap menjadi kurang bahkan tidak sehat. Itulah potret kelam masyarakat desa dalam hal kesehatan. Pembiaran terhadap pelayanan kesehatan yang kurang baik bagi masyarakat desa adalah pelanggaran hak asasi anusia.

3.2. Pendidikan

Undang-undang nomor 20/2003 mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Masih dalam UU yang sama diatas, pasal 3 menyebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (Sulistyo, Perdanakusuma, Leksono: 2010; hal.2).

Pernyataan definisi dan Psl 3 UU nomor 20/2003 diatas indah adanya. Bahwa banyak orang telah memiliki pendidikan yang tinggi di Republik ini, adalah hal yang tidak bisa dipungkiri. Bahwa penataan pendidikan sedang ditata adalah benar adanya. Bahwa penataan kesejahteraan guru melalui tunjangan profesi sudah dilakukan. Bahwa hasil Ujian Nasional banyak sekolah yang lulus atau meluluskan anak didiknya 100% itu biasa.

Tetapi menjadi persoalan apakah mutu pendidikan itu meluas sampai ke desa-desa sesuai dengan beberapa pernyataan diatas ? Jawabannya beragam. Hasil pendidikan UN banyak yang 100% benar adanya, tetapi apakah kualitas itu merata pada semua anak didik ?. Di desa-desa hal ini masih menjadi pertanyaan yang mesti dicari solusinya. Buku pegangan guru yang kurang, kualitas dan profesionalitas guru yang apa adanya, sarana dan prasarana yang kuang memadai telah ikut mempengaruhi menurunnya kualitas pendidikan. Maka kualitas pendidikan kita patut dipertanyakan. Siapa yang harus disalahkan ?

Pendidikan yang rendah bagi kebanyakan masyarakat desa adalah persoalan umum yang dialami masyarakat desa. Di Desa hanya ada pendidikan jenjang Sekolah Dasar. SMP dan SMA/K menjadi barang langkah. Anak-anak desa harus mencari sekolah lanjutan yang jauh, dengan ongkos yang mahal. Biaya pendidikan yang mahal menyebabkan banyak masyarakat desa tidak mampu menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi. Jelas bahwa sekolah menjadi sulit bagi kebanyakan masyarakat desa, yang pada akhirnya tingkat drop out yang tinggi ada di desa-desa. Kebodohan masyarakat desa menjadi momok bagi kemiskinan.

3.3. Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia selalu menjadi kendala yang sampai dengan saat ini tidak pernah teratasi dengan baik. Mayarakat desa selalu menjadi ladang yang sangat terlupakan dari aspek pengelolaan sumberdaya manusia. Perencanaan sumberdaya manusia untuk masyrakat desa selalu diabaikan. Perencanaa sumberdaya manusia selalu menghiasi penduduk kota. Guru yang bermutu, sarjana dan lain sebagainya selalu hadir di kota.

Bukan berarti tidak ada perhatian dari pemerintah terhadap sumberdaya manusia di desa. Program Sarjana Masuk Desa adalah hal yang positif bagi masyarakat desa. Tetapi apalah artinya satu rang sarjana di desa untuk boleh mengubah pola pikir dan mempengaruhi ratusan masyarakat desa, agar boleh berupaya untuk meningkatkan sumberdaya manusia di desa ?.

Orang yang dianggap pintar di desa adalah mereka yang bertopeng elit. Pemerintah desa dan guru adalah mereka yang dianggap orang pintar, walaupun sekolahnya apa adanya. Syukur-syukur diantara mereka ada yang sarjana. Kebanyakan mereka adalah tamatan SMP sampai SMA/sederajat. Itu artinya walaupun kelompok elit ini didengar omongannya, tetapi belum tentu diikutinya dengan baik.

3.4. Lembaga Keuangan

Berbagai lembaga keuangan seperti perbankan atau koperasi selalu ada di kota. Di desa hampir tidak ada. Kalaupun ada cuma koperasi dimana orientasinya kepada masyarakat yang punya duit. Sedangkan masyarakat biasa hanya menjadi obyek. Diberi pinjaman apa adanya selebihnya dikejar-kejar untuk membayar pinjamannya yang mencekik leher.

Bahwa Koperasi menjadi Soko Guru Perekonomian Rakyat sesuai dengan UU Perkoperasian itu benar. Tapi jangan lupa. Kehadiran Koperasi atau lembaga keuangan lainnya seperti perbankan, juga dapat melegalkan kemiskinan itu sendiri. Masyarakat diberi pinjaman yang banyak dalam jangka waktu tertentu, lalu ketika jatuh tempoh nasabah dan pihak peminjam modal kejar-kerjaran. Akhirnya masayarakat disalahkan, karena tidak membayar modal dan bunga pinjaman. Sebagai gantinya tanah atau apa saja yang ada pada mereka terpaksa diserahkan untuk melunasi pinjamannya. Masyarakat semakin miskin.

Aturan pinjaman yang berbelit-belit menyebabkan masyarakat desa tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh pinjaman dari lembaga perbankan atau koperasi. Peredaran keuangan sangat tidak rasional. Masyarakat desa hanya menjadi obyek dari lembaga keuangan untuk mengeruk keuntungan dari masyarakat desa.

3.5. Transportasi

Transportasi dari dan ke desa-desa masih menjadi mimpi yang buruk. Mobilisasi masyarakat desa ke kota atau sebaliknya tetap saja bermasalah. Sampai dengan saat ini semuanya masih sebatas pengharapam sambil menanti janji dari pemerintah. Kita tidak tahu kapan persoalan transportasi dari dan ke desa-desa bisa diatasi. Belum terlihat upaya serius dari pemerintah untuk mengatasi persoalan tramsportasi dari dan ke desa-desa. Kita juga harus akui bahwa sampai dengan saat ini transportasi masih menyimpan segudang persoalan.

Pada halnya salah satu kantong ekonomi Lembata juga adalah Atadei. Begitu banyak hasil komoditi yang justru dihasilkan dari Atadei termasuk Watuwawer. Namun demikian transportasi darat masih sulit, sama halnya juga transportasi laut. Jalan Trans Atadei yang meliputi dua Kecamatan yaitu Kecamatan Nubatukan dan Kacamatan Atadei, justru kondisinya kini rusak parah.

Pengakuan Ketua BPD Katakeja, Rudolfus Basa mengatakan bahwa perbaikan jalan Trans Atadei seharusnya menjadi tanggung jawab dua Pemerintah Kecamatan. Bukan hanya pemerintah dan masyarakat Kecamatan Atadei saja, tetapi juga menjadi perhatian Pemerintah Kecamatan Nubatukan. (Pos Kupang, Selasa, 02 April 2013, Hal. 21). Kerusakan jalan Trans Atadei sebenarnya lagu lama yang sampai saat ini hanya menjadi tontonan bukan hanya masyarakat Atadei tetapi pemerintah kecamatan dan kabupaten.

3.6. Air Bersih

Air bersih menjadi kebutuhan setiap orang. Hak dasar masyarakat desa untuk memperoleh air bersih menitikan persoalan dramatis. Pelayanan pemerintah dalam menyediakan air bersih di desa-desa tak ada perubahan signifikan. Untuk memperoleh air bersih di desa-desa sekarang ini masih jauh dari harapan kita semua. Masyarakat desa selama ini minum air hujan, minum air kali, itu hal biasa. Keinginan mereka untuk mengkonsumsi air bersih cuma mimpi belaka. Yang ada cuma air hujan dan air kali yang yang mengitari keseharian mereka.

Memang meraka tidak minta air bersih. Tetapi karena kebutuhan air bersih menjadi hak dasar setiap orang, maka kepada mereka juga harus diberikan. Sebagai ayah yang baik pemerintah harus memperhatikan hal ini. Jangan sampai kita lupa mereka yang hidup di desa-desa.

3.7. Harga komoditi

Tidak ada desa yang tidak memiliki tanaman perdagangan. Sekecil apapun desa, desa itu tetap memiliki tanaman perdagangan. Persoalannya adalah bagaimana upaya yang dilakukan agar hasil bumi/komoditi itu memiliki nilai rupiah yang tidak terlalu rendah tetapi juga tidak terlalu mahal. Kemiri, kelapa, mente, kacang tanah, mangga, vanili, kakao, cengkeh, pisang dan lain sebagainya.

Sebenarnya kita mempunyai masalah dengan penetapan harga komoditi yang pantas. Dibutuhkan regulasi semacam Perda agar kestabilan harga komoditi tetap aman. Kenyataannya, selama ini penetapan harga komoditi selalu menjadi kewenangan penimbun. Mereka yang bermodal menentukan seenaknya harga komoditi, dengan berbagai politik dagangnya, agar pedagang atau penimbun mengeruk keuntungan yang besar, sementara petani yang menanam, memelihara bertahun-tahun, hanya mampu menjual dengan harga yang rendah bahkan tidak pantas.

Maka dengan demikian harus dibutuhkan aturan/regulasi agar petani dan pedagang sama-sama untung. Selama ini harga komoditi ditentulan oleh pedagang sementara petani cuma menerima apa adanya. Hasil petani dieksploitasi oleh pedagang. Pedagang membeli dengan harga murah tetapi menjualnya dengan harga yang mahal. Kita semua sudah tahu petani yang memliki komoditi tetapi kehidupan mereka tetap miskin.

3.8. Sistem Pemerintahan Desa

Sistem berarti : 1. Seperangkat (suatu gabungan, kombinasi atau kumpulan) unsur, elemen, komponen, bagian, hal, yang disebut sub system, 2. Saling kait mengkait (interelasi), saling mempengaruhi (interaksi), saling tergantung (interdependensi). 3. Merupakan satu totalitas, entitas, atau kesatuan yang bulat, utuh dan terpadu, 4. Keberadaannya memiliki fungsi atau tujuan tertentu. (Sedarmayanti : 2007; 31-32).

Pemerintahan Desa dengan fungsi dan tujuannya menyelenggarakan pemerintahan desa juga memiliki system. Sistem itu melekat dengan pola dan perilaku pemerintahan desa. Saling keterkaitan antara berbagai elemen pemerintahan Desa, menjadi satu kesatuan yang tak bisa terpisahkan. Kepala Desa, para Kaur (Kepala Urusan), Rukun Wilayah (RW) dan Rukun Tetangga (RT) serta perangkat desa lainnya menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Sub system harus mendukung system, tidak boleh melenceng, maka sub system bersama-sama melakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan. Sub Sistem tidak boleh berjalan diluar system. Kalaupun ada yang berjalan diluar system, maka hal yang pasti terjadi adalah guncangan terhadap system. Maka system tidak boleh pincang.

Fungsi dan tujuan pemerintah desa adalah mengatur dan menata kesejahteraan masyarakat desa. Pemerintahan desa harus dilaksankan secra interelasi, interaksi dan interdepedensi. Dipahami juga bahwa bukan hanya Pemeritah desa saja yang berhak menjalankan pemerintahan tetapi ada unsure lain yang terlibat antara lain stakeholder utama yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsi masing-masing yaitu Negara atau pemerintah, privat sector (sektor swasta atau dunia usaha) dan society (masyarakat). ( Sedarmayanti : 2007; 5)

Pemerintah desa sebagai unsure pemerintah harus mampu menjalin kerjasama dengan pihak swasta (privat sector) serta masyarakat (society) untuk bahu membahu melaksanakan program-program pembangunan desa. Hal yang menarik untuk dilihat adalah Pemerintahan desa berjalan sendiri dan tidak mau melibatkan swasta dan masyarakat. Masyarakat dan swasta dianggap menjadi penghalang. Pada hal ini syarat menciptakan Kepemrintahan yang baik (good Governance).

4. Lokomotif Pembangunan

Lokomotif dari bahasa Belanda artinya kepala Kereta Api yang bermesin dan yang menarik gerbong-gerbong Kereta Api itu. (Badudu, Zain :1996; 823). Kereta Api memiliki Lokomotif dan gerbong. Supaya gerbong bisa berjalan, maka harus ditarik oleh lokomotif. Berapapun jumlah gerbong Kepala Kereta Api/lokomotif bisa menariknya. Lokomotif dan gerbong berjalan diatas rel. Tanpa rel Kereta Api tidak bisa jalan.

Desa diibaratkan sebagai lokomotif pembangunan. Menata pembangunan dari desa adalah sebuah hal yang positif. Memang pikiran ini pasti dianggap konyol karena masih danggap sulit untuk diwujudkan. Umumnya Pemerintahan manapun selalu membangun dari kota. Dibandingkan dengan kota biaya membangunan dari desa sangat mahal. Tetapi konsep ini semestinya bisa dilaksanakan untuk membangun dan menata dari desa.

Pemerintah propinsi Nusa Tenggara Timur telah memulai dengan upaya-upaya untuk membangun dari desa. Drs. Frans Lebu Raya sebagai Gubernur Propinsi Nusa Tenggara Timur, justru melahirkan program membangun dari desa yaitu Desa Mandiri Anggur Merah (DeMAM), disampiang program-program yang lain seperti, Propinsi Jagung, Propinsi Sapi, Propinsi Koperasi dan Propinsi Cendana. Setiap desa mengelola uang Rp. 250.000.000.- per tahun. Kita sebenarnya butuh program-program sederhana seperti ini tapi nyata dan bisa dicapai.

Namun harus diakui bahwa berbagai program pemerintah ketika era Otonomi Daerah berjalan, masih tetap dalam pola lama yaitu membangun dari kota. Jalan raya, jembatan, dan bahkan insfrastruktur lainnya dibangun dari kota. Desa tetap menjadi yang terlupakan. Kapan jalan raya sampai ke desa-desa ? Pemerintah lagi tidur nyennyak.

Membangun dari desa seharusnya dilakukan dengan menata system pemerintahan desa, pendidikan, kesehatan, sumberdaya manusia, air bersih, penatan harga komoditi, dan menata pemerintahan desa sebagai sebuah system yang baik, memang perlu dilakukan mulai dari desa. Karena jika pembangunan dimulai dari desa maka Kecamatan dan Kabuaten akan maju dengan sendirinya. Desa menjadi Lokomotif untuk menarik gerbong Kecamatan dan Kabupaten.

BAGIAN KEDUA

WATUWAWER : KAMPUNG TUA

Jauh sebelumnya, Watuwawer sebenarnya terbentuk menjadi kampungg tua. Kampung yang sangat tradisional. Hal ini dapat dibuktikan dengan hadirnya berbagai rumah adat dari beberapa suku yang menetap di Watuwawer, dengan bebagai kekayaan suku dan budaya yang hingga kini masih dipelihara dengan baik. Walaupun rumah adat sekarang cuma tinggal satu, tetapi budayanya seperti kolewalan, dan Ahar yang masih tetap orisinil dipelihara dengan sangat baik. Semuanya ini bisa dikembalikan kepada masa awalnya menjadi nuansa kampung tua. Caranya ialah dengan mengembalikan fisik semua rumah adat seperti sedia kala.

Suku Ledjap adalah salah satu suku yang menetap di Desa Watuwawer bersama beberapa suku yang lain. Suku-suku itu antara lain suku Wawin, suku Ladjar, suku Tukan, suku Huar, dan suku Koban, Lejap Ruin dan Ledjap Nujan serta suku-suku di Lewogroma yaitu, suku Kedang , Gromang (Roma), Lajar, Banin, Mebung, Within dan dua suku di Lewokoba yaitu Karang dan Wukak. Suku-suku ini hidup berdampingan dengan rukun sahaja sejak kedatangan mereka ratusan tahun silam dan menetap di Desa Watuwawer. Namun rumah adat mereka sudah punah. Mestinya harus bisa dibangun kembali. Suku-suku ini juga memiliki budaya Kolewalan, Ahar dan Holobeba sebagai budaya mereka.

Uniknya ialah bahwa suku-suku yang ada di Watuwawer, Lewokoba dan Lewogroma juga terdapat di desa lain. Hanya mereka tidak memiliki Kolewalan, Ahar dan Holobeba sebagai budaya Watuwawer. Misalnya Lajar di Waiwejak, Lerek, Koban di Lerek, Witin, Kedang dan yang lain di desa lain. Kecuali suku Lejap di luar Watuwawer, harus kembali untuk Tule Ahar sebagai panggilan lewotanah.

Hampir semua suku dalam etnis Lamaholot pasti memiliki keunikan sejarah dan rumah yang tentu tidak sama. Hal ini dapat dilihat dari sejarah perjalanan, asal-usul dan kekayaan suku yang berbeda dengan suku yang lain, dan juga bentuk bangunan rumah adat. Banyak suku di Lembata juga memiliki jalan ceritera tentang asal-usulnya secara unik.

Seperti halnya suku Ledjap, memiliki ceritera perjalanan sejarah, asal usul suku, kekayaan dan Rumah Adat yang sangat unik. Dari generasi ke generasi suku Ledjap tetap konsisten mewariskan ceritera secara oral, tetang sejarah perjalanan rumah adat dan sejarah perjalanan suku. Perjalanannya dimulai dari Betawi/Batavia sampai di Surabaya (Wonokromo) Ende, lalu ke Krokowolo/Tuak Wutu Awololo, Nama Wekak dan akhirnya memilih menetap di Watuwawer sampai dengan hari ini. Hal ini teruji melalui perjalanan suku ini. Sejarahnya diceriterakan dari generasi ke generasi secara teratur dan amat rapih. Silsilah, kekayaan dan budaya yang menjadi ciri khas suku Lejap menjadikannya unik diantara suku-suku yang lain.

Suku Ledjap menjadi suku yang paling besar di Desa Watuwawer karena dari segi jumlah pemeluknya lebih banyak jika dibandingkan dengan suku yang lain. Ledjap mendiami 2/3 dari Kampung Watuwawer. Suku Ledjap (Lera Lama Dike) terdiri dari Dua suku Besar yaitu Ledjap Nujan (bungsu/adik) dan Ledjap Bruin/Ruin/Sulung. Suku terbesar kedua adalah suku Wawin yang menjadi suku yang pertama datang dan menetap di Desa Watuwawer. Setelah itu baru diikuti oleh suku-suku yang lain seperti Huar, Koban, Tukan dan Ladjar, Kedang dan Karang.

1. Budaya

Watuwawer menyimpan sejuta pesona budaya. Pesona budaya yang mengeliat itu masih perawan dan tidak tersentuh oleh siapapun. Mereka yang menghuni desa Watuwawer pun masih belum berpikir tentang pesona budaya Watuwawer itu. Dari generasi ke generasi tidak seorangpun berpikir tentang bagaimana mengupayakan agar pesona budaya Watuwawer bisa mengeliat di seantero jagat. Pesona itu adalah pesona budaya dan pesona Pariwisata.

1.1. Pesona Budaya

Pesona budaya terpatri dalam syair, lagu dan tari. Syair, lagu dan tari adalah bentuk budaya yang menggunakan bahasa/sastra daerah untuk mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan keinginan serta membangun hubungan dengan leluhur. Syair biasanya digunakan dalam bentuk seremoni. Syair menjadi sarana untuk membangun komunikasi ritual. Pesona Syair digunakan untuk membangun hubungan dengan sesama dan leluhur ataupun Lera Wulan Tanah Ekan (Tuhan dalam tradisi Lamaholot).

Syair dipakai untuk dua hal. Yang pertama untuk membangun komunikasi dengan leluhur dan Lera Wulann Tana Ekan yang kedua, untuk menjalin persahabatan dengan sesama. Membangun komunikasi dengan dilakukan dengan cara seremoni adat dalam berbagai ritual dan ritus. Moment ini dipakai oleh pemimpin rumah adat atau orang yang dipercaya untuk membawakan syair dalam mebangun komunikasi dengan leluhur. Seremoni dilakukan antara lain di rumah adat (depan pintu rumah adat), di lokasi pembangunan rumah, kebun dan lain-lain, selalu dilakukan dengan menggunakan syair.

Sementara tari dan lagu terpatri dalam bentuk urisele/tule hele, Hama, Gape (merapati kematian/giar gape), Pantun. Wujud Lagu dan Tari dalam bentuk kolewalan, Hama dan holobeba. Di dalam lagu dan tari juga digunakan syair untuk membangun komunikasi bersama sesama atau juga dengan leluhur. Biasanya syair tergambar jelas dalam lagu, syair maupun tarian.

Moment Uri Sele/Tule Hele adalah sarana untuk saling membagi informasi untuk mentakan sesuatu termasuk memperkuat suatu keadaan yang terjadi pada suatu waktu tertentu, baik waktu lampau atau sedang dan yang akan datang. Kolewalan, Hama dan Holobeba mempunyai keterkaitan, baik syair maupun tari.

1.2. Pariwisata

Watuwawer juga memilki pesona wisata. Pesona Wisata tepatri dalam aneka budaya, situs rumah adat, Karun, wisata rohani, wisata gunung api dan wisata Gas Alam. Kesemuanya ini juga belum disentuh oleh berbagai pihak hingga saat ini. Hanya Gas Alam yang sedang dalam pengelolaanpun hingga saat ini masih belum jelas.

Pembangunan infrastruktur untuk menunjang pariwisata kini mengganjal segalanya. Jalan menuju Watuwawer dari Lewoleba hingga saat ini masih dalam kondisi rusak parah. Perhatian pemerintah ke arah ini belum jelas. Perencanaan pariwisata harus berada dalam suatu siklus yang tertata rapih, dimana semua aktivitas pariwisata direncanakan secara berurutan tetap, sehingga mengundang minat wisatawan untuk mengikuti kegiatan kepariwisataan. Selama ini perencanaan pariwisata kita tidak berkesinambungan antara suatau daerah dengan daerah yang lain, mengakibatkan turis tidak bisa menjadwalkan kepergiannya dengan teratur.

Kendala lain yang mengganjal akses pariwisata adalah lemahnya transportasi untuk mendukung akses ke daerah-daerah kantong pariwisata. Kendaraan khusus angkutan pariwisata tidak ada sama sekali, sementara turis membutuhkan kendaraan yang baik dan terjadwal tetap dari dan ke akses daerah pariwisata.

Rancang bangun pariwisata kita lemah. Hal ini ditandai dengan kurang seriusnya pemerintah untuk berani menetapkan kantong-kantong pariwisata di berbagai wilayah Lembata sebagai Daerah Tujuan Pariwisata. Walaupun demikian kita sebenarnya jangan berkecil hati, karena secara alamiah hal ini akan terjadi dengan sendirinya.

Disamping itu kurang adanya promosi pariwisata yang strategis dan sustainable/berkelanjutan . Promosi menjadi hal yang sangat penting karena hanya dengan promosi pariwisata yang konsisten kita dapat menjual Lembata sebagai pulau yang memiliki pesona pari

wisata yang strategis. Kita harus akui bahwa perilaku birokrasi Wirausaha dari Pemerintah Kabupaten Lembata hanya sebatas mendirikan Purin Lewo yang mati tak mau hidup juga susah. Mestinya Purin Lewo juga diberi keleluasaan untuk mendesain perencanaan dan pengelolaan asset Pariwisata di Lembata.

1.3. Ekonomi

Perekonomian wilayah ini didukung oleh hasil komoditi pertanian seperti Kelapa, kemiri, kacang tanah, mente, padi, jagung serta ternak hewan seperti ayam, babi, kambing. Hasil penjualan komoditi dipakai untuk membiayai anak sekolah, membangun rumah atau kegiatan lainnya. Komoditi ini dijual ke Lebala dan Lewoleba.

1.4 Sumberdaya manusia

Watuwawer memiliki sumberdaya manusia yang cukup baik. Beberapa tahun terakhir Watuwawer bisa menjadi penyumbang Sumberdaya manusia dalam bidang pemerintahan Kabupaten Lembata walaupun belum maksimal. Beberapa putra daerah watuwawer berhasil di luar Watuwawer. Ada yang menjadi PNS (Pegawai negeri Sipil), TNI/POLRI, Biawaran, Biarawati, dan Pengusaha. Khusus di bidang pemerintahan putra putri Watuwawer belum banyak yang berkecimpung didalamnya. Namun hal yang pasti adalah putra dan putri Watuwawer sedang mempersiapkan diri di bidang pendidikan dengan mengambil berbagai jurusan di Perguruan Tinggi, yang nantinya pada satu saat mereka juga bisa berkiprah di dunia pemerintahan.

1.5. Sumberdaya alam

Watuwawer memiliki sumberdaya alam yang cukup potensial sebagai penyumbang PAD (Pendapatan Asli Daerah) bagi Kabupaten Lembata. Hanya saja bahwa pemgelolaannya tidak terlalu signifikan dan profesional sehingga komoditi sumber daya alam yang ada dianggap tidak strategis. Jika asset sumberdaya alam ini dikelola secara professional maka pasti akan menhghasilkan PAD yang signifikan. Beberapa aset sumberdaya alam yang tersedia di Watuwawwr antara lain sebagai berikut :

1.6. Geothermal/Karun

Di Watuwawer terdapat tambang Geothermal. Orang atiwawer menyebutnya Karun. Menurut orang di Watuwawer dan bahkan seluruh masyarakat di Lembata ikut menyebutnya Karun. Dan nama ini sangat terkenal. Pada halnya sebenarnya itu adalah Geothermal/ GasBumi. Karun dikenal luas karena menjadi tempat memasak makanan dan daging.

Karun adalah sebuah tempat di mana terdapat begitu besar uap gas gunung berapi yang sudah ratusan tahun ada di Desa Watuwawer. Sampai dengan saat ini aset ini belum dijadikan aset pariwisata, karena tidak ada polesan untuk menjadikannya sebagai daerah pariwisata, baik oleh pemerintah Kabupaten maupun pemerintah Desa. Karun hanya dibiarkan sebagai lahan pariwisata tidur dan bahkan tidak semakin terurus, dan tidak terawat dengan baik. Karun kini hanya menjadi saksi bisu bagi masyarakat Watuwawer. Pemerintah lebih senang dengan pantai yang indah, dan Ikan Paus untuk dijadikan sebagai asset pariwisata.

Selama ini Karun hanya bisa menjadi tempat memasak makanan. Hanya dalam tempo satu jam, semua makanan sudah bisa menjadi santapan yang lezat. Makanannya sangat enak, tidak meninggalkan bau belerang, tahan lama dan rendah kolesterol, kalau dimakan tidak bosan. Hebatnya, makanan di Karun ini bisa dikirim untuk sanak keluarga di daerah yang jauh, seperti di Jakarta, Kalimantan bahkan bisa sampai ke Malaysia tanpa pengawet makanan. Sangat alamiah.

Harus diakui bahwa Karun sebenarnya menjadi salah satu ikon Lembata selain Ikan Paus. Tetapi pemerintah rupanya tidak tertarik atas aset pariwisata yang satu ini. Jika penjualan Karun dipadukan dengan penangkapan ikan paus secara tradisonal di Lamalera, maka akan menjadi lengkap dan sangat strategis.

Karun dibiarkan sebagai perawan yang tetap menggeliat menunggu polesan tangan-tangan trampil untuk mengubahnya menjadi ikon pariwista. Yang tidak nampak adalah perencanaan pariwisata yang belum strategis dan pengembangannyapun bersifat sangat sektoral tidak menggapai seluruh asset pariwisata di Kabupaten Lembata. Gunung berapi Adowajo dan Petrus Grippe di sebelah Selatan Lembata, ditambah dengan gunung Hobal di tengah laut (di Indonesia hanya lima buah termasuk Hobal) tidak dikelola sebagai asset Pariwisata. Patut disayangkan karena pembiaran asset pariwisata seperti ini adalah hal yang tidak wajar.

Pemikiran strategisnya adalah jika Karun yang dipakai untuk memasak makanan dipadukan dengan asset pariwisata budaya di selatan Lembata mulai dari Karangora sampai di Watuwawer dikelola dan dikemas menjadi sebuah traveling pariwisata, maka dengan sendirinya akan mendatangkan banyak turis International dan local ke Watuwawer. Suguhan syair lagu dan tari dikemas menjadi satu arena pertunjukan akan menjadi nilai jual yang tinggi.

Ketika mereka sampai di Karun sambil melihat keindahan Karun dan menikmati makanan yang di masak di Karun secara tradisional, mereka juga disuguhi tarian kolewalan lalu diantar dengan holobeba ke Lerek, Lerek terima dengan tarian Beku dan Diok, lalu mereka melihat gunung api Adowajo dan Petrus Grippe, mereka melingkar melalui Tanjung Atadei untuk melihat patung Atadei, ke Lebala untuk melihat peninggalan raja Goa yaitu Keris di rumahnya Raja Lebala dan akhirnya ke Lamalera untuk menyaksikan penangkapan ikan Paus secara tradisional. Dari situ mereka menimakmati Pasir Putih di Mingar sebelum kembali ke Lewoleba untuk menghadiri Sail Indonbesia.

1.7. Patung Pater Konradus Bekker, SVD

Baha Luga Wawin, adalah putra Watuwawer yang dipelihara oleh Pastor Konrardus Bekker, SVD. Ketika itu Baha di bawa oleh Bekker ke Larantuka dalam keadaan sakit untuk diobati, karena luka pada kakinya yang sudah menahun, dan tidak pernah sembuh. Ketika sembuh, Baha lalu mengikuti kursus pertukangan, dan dikemudian hari mendapat tugas mengerjakan gereja Katolik di Riang Kemie-Larantuka bersama Petrus Temai Lejap.

Setelah selesai mengerjakan gereja Katolik di Riangkemie-Larantuka, Baha lalu kembali ke Lewoleba dan bekerja Misi di Lewoleba bersama bruder Patricius, sementara Petrus Temai Lejap pulang kampung. Suatu ketika Baha kembali ke kampungnya di Watuwawer. Pada saat kembali ke kampung, Baha membawa serta satu buah Sersan, Sepatu satu pasang, Tali Belanda dan Kain Serbet satu lembar.

Merasa ada barang di misi yang hilang Bruder Patrisius lalu mengirim nota kepada Pater Bekker bahwa Baha telah mencuri satu buah Sersan, Sepatu satu pasang, Tali Belanda dan Kain Serbet satu lembar. Berdasarkan nota dari bruder Patrisius tersebut, Pater Bekker kemudian pergi ke rumah Baha di belakang Gereja, untuk mengambil barang-barang tersebut.

“Hotperdomes (Bld) Baha. Kau telah mencuri satu buah Sersan, Sepatu satu pasang, Tali Belanda dan Kain Serbet satu lembar .” kata Pater Bekker. Rupanya inilah yang memicu ketersinggungan Baha ketika itu. Selanjutnya Pater Bekker pulang menyiapkan diri untuk memberi sakramen pengakuan kepada umat Watuwawer yang sedang mempersiapkan diri, karena keesokan harinya tanggal 20 April 1956 akan diadakan komuni pertama bagi anak-anak di Watuwawer. Menjelang malam sekitar jam 19.00 Baha mengendap menuju rumah pastoran. Sesampai di rumah pastoran ternyata Pater Bekker sedang berdoa di dalam kamarnya. Baha mengetuk pintu sampai tiga kali, Bekker kemudian keluar dari kamarnya menuju pintu.

Baha sedang berdiri di Pintu, parangnya disandarkan di tembok, dan dengan sigapnya Baha mengambil parang yang dibawanya, kemudian diayunkan kearah Pater Bekker. Perkalahianpun terjadi dan tak dihindari. Pater Bekker sempat menangkis dengan tangan kanan, yang mengakibatkan ibu jari tangan kanannya putus. Perkelahian tetap terjadi. Namun karena Baha menggunakan parang, maka kemudian Ia mengayunkan parang kearah wajah Pater Bekker sebanyak dua kali dan akhirnya Bekker rebah di depan rumah pastoran.

Posisi mayat Bekker saat itu adalah kepalanya mengarah ke Barat dan kakinya berada didepan pintu Pastoran. Tangan kanan berada di dada sedangkan tangan kirinya terlentang di samping badannya. Bagian Ibu jari tangan kanan yang putus itu kemudian hilang. Sebulan kemudian orang tuanya di Belanda mengetahui bahwa Bekker telah dibunuh. Buktinya dengan kehadiran ibu jari Bekker yang putus ketika menangkis ayunan parang dari Baha saat itu ternyata hadir sebagai tanda di tengah keluarga Bekker di Belanda.

 Saki-saksi hidup

Ketika peristiwa pembunuhan itu terjadi ada beberapa saksi yang mengetahui peristiwa itu dari awal sampai selesai. Namun sampai dengan saat ini saksi-saksi tersebut tidak pernah menceriterakan kejadian yang dilihatnya. Sedangkan saksi yang lain hanya mengetahuinya setelah peristiwa itu terjadi. Saksi-saksi itu antara lain :

 Yohanes Kia Lejap

Yohanes Kia Lejap adalah Kepala Desa Watuwawer ketika terjadi pembunuhan. Ketika Baha telah membunuh Bekker, SVD, Ia kemudian pergi menyerahkan diri ke Kepala Desa. Baha kemudian diikat dan diamankan di rumah Kepala Desa.

Selama dalam pengawasan dan pengamanan Kepala Desa, Baha diperlakukan dengan baik. Baha dijaga sangat ketat. Namun tidak ada komunikasi antara Baha dengan orang lain kecuali hanya dilakukan dengan Kepala Desa dan Bernardus Boli Lejap, sahabat karibnya sejak kecil. Dalam pengawasan itu Baha tetap tenang, menunggu proses selanjutnya, Ia dibawa oleh Baha Mayeli (Raja Lebala) ke Larantuka untuk diadili sampai dipenjarakan.

 Ham Belada Lejap

Beliau adalah seorang petani dan tukang kayu. Sehari-hari Ham bersama temannya Petrus Temai Lejap, disamping sebagai petani mereka berdua adalah tukang bela kayu (tukang kasar). Mereka berada di Namawekak untuk menjalani profesi sebagai tukang Bela. Ham kemudian menetap sampai meninggal di Namawekak, dan keturunannya sampai saat ini berada di Namawekak.

Beliau adalah satu-satunya saksi mata di Tempat Kejadian Perkara (TKP) pada peristiwa pembunuhan itu terjadi. Beliau berada di Tempat Kejadian Perkara. Ketika Ia mau ke gereja untuk mengaku dari remang-remang sinar rembulan, Ia melihat sedang terjadi perkelahian antara Pater Bekker dan Baha Luga. Sampai Pater Bekker terjerembab di tanah Ham masih menyaksikannya. Setelah itu Ham lari, karena dia takut nanti dibunuh oleh Baha juga.

 Bernardus Boli Ledjap

Adalah orang yang pertama bertemu dengan Baha ketika Baha sudah berhasil membunuh Pater Bekker. Ketika itu Boli berjalan dari rumahnya menuju Pastoran utuk melihat kejadian pembunuhan disana. Waktu itu hari sudah malam, tapi bulan sudah terbit sehingga bisa menerangi jalan menuju ke Rumah pastoran. Dalam perjalanan Ia bertemu dengan Baha sedang menuju ke rumah Kepala Desa pada waktu itu, Yohanes Kia Lejap, sambil memegang parang dan memakai baju bola klub Albatros warna kuning dan penuh darah. Mereka dua berpapasan.

Boli menegurnya. “Tema”, boli memanggilnya. “O tema”, sahut Baha. Baha lalu menyerahkan parang ke Boli. “Peda nere tema, tuan ta go belo ke”. ( Parang ini teman, Pastor saya sudah bunuh), kata Baha. Lalu Boli menerima parang dari tangan Baha. Mereka dua menuju rumah Kepala Desa Yohanes Kia Bala lejap. Sesampai di rumah Kepala Desa mereka duduk di Wetak (pondok besar, sudah punah) sambil makan kue yang sudah dibuat untuk pesta komuni keesokan harinya tanggal 20 April 1956. Kebetulan anaknya Kepala desa yaitu alm Raja Baha Lejap (meninggal di Tanjung Selor-Kalimantan) juga akan menerima komuni pertama.

Baha kemudian diborgol dengan tali, kedua tangan dan kakinya diikat di dalam rumah Kepala Desa. Selama di dalam rumah Baha dikunjungi oleh Kera Pati dan Pol Bala. Keduanya sempat makan bersama Baha di rumah Kepala Desa. Keesokan harinya tanggal 20 April 1956 Baha lalu di bawa ke Labala oleh rombongan Raja Baha Mayeli – raja Labala. Banyak sekali orang yang datang dari berbagai kampug yaitu Lerek, Waiwejak, Atawolo, termasuk pasukan kerajaan dari Raja Baha Mayeli – Lebala, untuk membawa Baha ke Lebala selanjutnya menjalani pengadilan di Larantuka.

 Peristiwa kriminal

Pembunuhan Bekker merupakan sebuah peristiwa maha dahsyat. Berangkat dari sebuah perkara kecil yaitu hanya sebuah sersan, sepasang sepatu, seutas tali Belanda dan sehelai serbet, yang menurut banyak orang tidaklah sangat masuk akal. Kalaupun dinilai dengan uang, tidaklah seberapa harganya, apalagi bagi sebuah lembaga gereja yang begitu besar seperti Petukangan Misi Lewoleba. Namun bagi seorang Baha, hal semacam ini sangat memalukan. Baha dituduh sebagai pencuri atas barang-barang milik bruder Patrisius.

Mestinya pembunuhan ini tidak boleh terjadi kalau Baha menyadarinya kalau justru atas pertolongan dan bantuan Bekker, Baha bukan hanya bisa sembuh dari penyakitnya yang sudah menahun, tetapi mendidiknya dan kemudian bisa menjadi tukang kayu yang hebat pada waktu itu. Penyakit menahun yang selama ini dideritanya justru atas kemurahan Bekker, ia bisa disembuhkan. Bekker berpikir bahwa Baha adalah anak yang punya potensi sekalipun Ia penyakitan, dan kemudian dididik dan bisa menjadi tukang kayu. Hanya tabiat Baha inilah yang sekarang menjadi momok yang menakutkan.

Peristiwa pembunuhan ini harus dimaknai sebagai sebuah peristiwa maha dahsyat. Mengapa ? Membunuh seorang manusia yang adalah seorang pastor adalah hal yang keji, tidak beperikemanusiaan. Terjadi di sebuah Kampung kecil. Masyarakatnya masih sederhnana, polos, lugu dan tidak berpendidikan. Mereka hanya punya harga diri, tidak mempunyai emas atau berlian atau intan permata. Maka ketika harga diri anak manusia diinjak oleh siapapun, disanalah terjadi pemberontakan yang mengakibatkan hal apa saja bisa terjadi termasuk pembunuhan. Pembunuhan Bekker adalah salah satu bukti penolakan atas harga diri dan kemanusiaan.

Peristiwa ini terjadi bukan karena pertentangan etnis. Bukan karena pertentangan antara kulit putih dan kulit hitam atau sawomatang. Bukan itu, tetapi yang terjadi adalah pertentangan dan penolakan terhadap harga diri dan martabat kemanusiaan, ketika harga diri seseorang diinjak oleh orang lain, maka akan terjadi malapetaka apa saja termasuk pembunuhan. Memang tidak semudah itu. Tapi kasus ini adalah salah satu bukti bahwa harga diri seseorag tidak boleh diinjak begitu saja. Maka, pengakuan atas harga diri dan kemanusiaan menjadi penting.

 Peristiwa Iman

Ketika peristiwa pembunuhan itu terjadi bukann hanya orang tua Bekker dan semua orang di Belanda menyumpahi Baha yang adalah orang Watuwawer, namun seluh dunia ikut mengutuknya. Ketika itu muncul stigma terhadap orang Watuwawer bahwa orang Watuwawer adalah pembunuh. Orang dari Kampung lain seperti Lerek, Atawolo, Waiwejak, Bauraja dan bahkan orang Katolik seluruh Indonesia mencatat dan mengutuk peristiwa itu. Padahalnya pembunuhan terhadap Pastor bukan hanya terjadi di Watuwawer saja, tetapi di daerah lain juga, bahkan lebih keji dari pembunuhan itu sendiri.

Bukan Cuma itu, tetapi juga terjadi bahwa semua biarawan dan biawati ikut mengutuk semua orang Watuwawer. Hal mana terjadi bertahun-tahun orang Watuwawer tidak memiliki rohaniwan/wati yang boleh bertahan hidup membiara.

Namun sebuah peristiwa Iman telah terjadi. Ketika Mama Gelu masih gadis ( istrinya Teo Toran lajar-masih hidup) pergi melihat jazat almarhum Pater Bekker di depan Gereja, ia kemudian mengambil darah Bekker dan menggosokkan pada wajahnya dengan bersumpah sambil meratap,”Ketika saya menikah, anak saya yang pertama lak-laki akan saya persembahkan kepada Tuhan, untuk menggatikan Pater Bekker.” Sebuah sumpah yang polos dan tidak mengada-ada, lahir dari hati yang tulus dan keluar dari sebuah mulut seorang perawan yaitu Gelu.

Sumpah ini kemudian terjawab beberapa tahun kemudian. Ketika Ia menikah dengan Theodorus Toran Lajar (koordinator Scahp Lembata pertama) lahirlah anak laki-laki sulung Hendrikus Tobotani Lajar. Hen ini yang kemudian menjawab peristiwa Iman itu. Hen kemudian ditahbiskan menjadi Imam dan kini bertugas di Keuskupan Sintang sampai dengan saat. Sejak itu benih panggilan terus mengalir mengapai anak-anak di Watuwawer. Sampai dengan saat ini sudah sekian orang menjadi Iman, frater dan suster dan bekerja di hampir seluruh Indonesia, bahkan Luar Negeri seperti di Jerman.

 Tempat Ziarah Iman

Patung ini harus dijadikan tempat siarah bagi umat Katolik setempat. Hal ini bisa terjadi karena Bekker dianggap sebagai martir. Mati di bunuh dengan sangat keji, darahnya tetap di kubur di Watuwawer tempat Ia meninggal dan dari darahnya orang meyakininya sebagai kekuatan untuk menghasilkan banyak biarawan dan biarawati yang berasal dari Watuwawer. Doa dan kesuciannya diyakini akan menjawab keinginan banyak orang yang mendaraskan doa melalui almarhum Bekker.

Selama ini belum ada tempat ziarah bagi umat di Watuwawer dan sekitarnya. Memang bukan hal yang luar biasa. Tetapi dalam siatuasi seperti ini orang Watuwawer telah menjadikan kubur Bekker sebagai tempat ziarah, tempat doa dan tempat untuk mencurahkan segalah persoalan kehidupan rohani mereka. Mereka meyakini bahwa di kubur inilah orang suci yang telah melayani kehidupan rohani dibunuh. Maka dengan bedoa dikuburnya Pater Bekker, mereka memperolah berkat dariNya.

1.8. Tambang Geothermal/Gas Bumi

Perpindahan panas secara konduksi terjadi melalui batuan, sedangkan perpindahan panas secara konveksi terjadi karena adanya kontak antara air dengan suatu sumber panas. Perpindahan panas secara konveksi pada dasarnya terjadi karena gaya apung (bouyancy). Air karena gaya gravitasi selalu mempunyai kecenderungan untuk bergerak kebawah, akan tetapi apabila air tersebut kontak dengan suatu sumber panas maka akan terjadi perpindahan panas sehingga temperatur air menjadi lebih tinggi dan air menjadi lebih ringan.

Keadaan ini menyebabkan air yang lebih panas bergerak ke atas dan air yang lebih dingin bergerak turun ke bawah, sehingga terjadi sirkulasi air atau arus konveksi. Adanya suatu sistim hidrothermal di bawah permukaan sering kali ditunjukkan oleh adanya manifestasi panasbumi di permukaan (geothermal surface manifestation), seperti mata air panas, kubangan lumpur panas (mud pools), geyser dan manifestasi panasbumi lainnya, dimana beberapa diantaranya, yaitu mata air panas, kolam air panas sering dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk mandi, berendam, mencuci, masak dll. Manifestasi panas bumi di permukaan diperkirakan terjadi karena adanya perambatan panas dari bawah permukaan atau karena adanya rekahan-rekahan yang memungkinkan fluida panas bumi (uap dan air panas) mengalir ke permukaan.

Berdasarkan pada jenis fluida produksi dan jenis kandungan fluida utamanya, sistim hidrotermal dibedakan menjadi dua, yaitu sistim satu fasa atau sistim dua fasa. Sistim dua fasa dapat merupakan sistem dominasi air atau sistem dominasi uap. Sistim dominasi uap merupakan sistim yang sangat jarang dijumpai di mana reservoir panas buminya mempunyai kandungan fasa uap yang lebih dominan dibandingkan dengan fasa airnya. Rekahan umumnya terisi oleh uap dan pori‐pori batuan masih menyimpan air. Reservoir air panasnya umumnya terletak jauh di kedalaman di bawah reservoir dominasi uapnya. Sistim dominasi air merupakan sistim panas bumi yang umum terdapat di dunia dimana reservoirnya mempunyai kandungan air yang sangat dominan walaupun “boiling” sering terjadi pada bagian atas reservoir membentuk lapisan penudung uap yang mempunyai temperatur dan tekanan tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar